Selasa, 15 April 2014

Nella dan Cinta (Bag. Pertama)

Sebuah tulisan seharusnya dimulai dengan kata-kata monumental. Tapi saya sungguh tak tahu, dengan kata-kata macam apa tulisan ini harus diawali. Secara saya tidak punya gagasan apa-apa tentang perjumpaan aneh kami yang mustahil.



Tulisan ini diniatkan untuk dan tentang Nella, seorang perempuan yang begitu mempesona, begitulah sapaan akrabnya, ntah ada berapa banyak sapaan akrab, teman2 memanggilnya, saya sendiri juga kurang tahu hehe. Tapi seperti perjumpaan pertama kami yang ganjil, maka tulisan ini juga dibuka dengan yang ganjil. Sebagaimana Tuhan, ganjil.

Jangan tanya soal bagaimana kami bisa saling kenal. Karena sampai lima hingga sepuluh tahun lagi, kami akan tetap merahasiakannya. Katakanlah berkat rahmat Tuhan yang maha kuasa, kami saling kenal, lalu bersua, membina hubungan.

Kami tidak akan bercerita tentang perkenalan kami. Lagipula, itu bukan yang terpenting dari tulisan ini, dari hubungan kami. Yang penting bagi tulisan ini adalah, seorang Nella dalam pandangan seorang Panji. Bukan perspektif ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Melainkan Nella, dalam kaca mata seorang pecinta, Panji. Itu saja.

Sebelum bertatap-muka, kami sama-sama penasaran. Bayangkan dua orang yang sama-sama tidak mengerti siapa sesungguhnya masing-masing dari kita, jika ditanya pernah bertemu saya akan jawab “iya..”, ketika kita sama-sama saling menimba ilmu disebuah pondok Pesantren, itupun sudah beberapa tahun yang lalu lamanya, hanya melihat tak pernh menyapa ataupun bercakap denganya. Begitulah kiranya kami nekad ketemu. Saya curiga ia seorang intel, alien atau jin yang bisa saja merupakan jebakan batman. Tapi saya juga penasaran karena betapa manis dan mendalamnya percakapan kami tanpa bertatap-mata. Saya terdorong keinginan yang kuat untuk melihat langsung keanggunan jiwanya.

Belakangan, ia tak pernah mengaku takut untuk bertemu. Bisa jadi, ia membayangkan akan bertemu dengan seorang penjahat berdarah dingin atau -mungkin,- kelamin. Tapi ia juga kalah dengan godaan itu.

Sampailah kami di depan pintu gerbang percakapan-percakapan normal dua manusia yang seperti baru kenalan. Jika sebelumnya, dengan chatting, kami berbincang-bincang layaknya sepasang kekasih, maka pasca-pertemuan itu kami menjadi kaku. Kami sadar sepenuhnya, kami harus memulai semuanya sebagai dua insan yang baru saling-mengenal. Musti saling mengerti dan menghormati di dunia nyata.
*********
Nella punya dunianya sendiri. Ia mewakili gadis kecil yang tumbuh di Pesantren. Anak muda yang sejak kanak-kanak intim dengan kehidupan agama. Rutinitas, kepenatan, kesenangan dan duka pesantren pernah ia kecap, Ia hafal jalanan, garis-garis dan denyut nadi pesantrenya. Fasih dengan kultur Anti, Ana. Budaya bahasa kearab-araban diakrabinya dengan betina.

Di sisi lain, Nella juga anak rumahan. Di rumah, ia harus tunduk dengan norma-norma yang dilembagakan kedua orang tuanya.  Di rumahnya, seperti rumah-rumah yang lain, ada seribu satu persoalan. Ia adalah bagian utuh dan dinamis dari rumah itu. Kadang menjadi masalah, kadang bagian dari masalah, tak jarang menyelesaikan masalah. Sejak kecil, ia sudah berperan dengan sangat betina.

Nella telah sangat terbiasa dengan berbagai masalah. Nella punya seribu satu kisah. Ia dewasa ditempa sekolah besar bernama dunia. Dengan latar belakang yang demikian, Nella cukup menjadi daya tarik bagi saya yang anak desa dan besar di pedesaan.

Maka pertemuan kami adalah pertemuan dua dunia berbeda. Meski persoalan yang dihadapi sebetulnya sama saja. Persoalan itu-itu jua, persoalan manusia pada umumnya. Yang pasti, dua (ke)pribadi(an) yang terlibat di sini. Dua pribadi yang sama-sama punya masa lalu dan cita-cita di masa depan.
*********
Nella adalah pemuja kewajaran. Ia benci meribetkan hal-hal sepele. Ia tak suka segala sesuatu yang maksain.

Disamping itu, Nella adalah ratu ok, bawel. Ia bisa mengucapkan ok, dan bawel, beberapa kali dalam sehari, Ia punya pendirian, sehabis mendengarkan suatu penjelasan, ia akan mengucapkan "okok, dan iya bawel" dengan gaya Nella banget. Tak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengucapkan "ok dan bawel" dengan cantik, selain dia.

Pendiriannya begitu kuat. Meski pendirian itu tak selalu menang melawan keadaan. Sejak awal berkenalan, Nella selalu blak-blakan dengan sikap dan pendiriannya. Kenangan tak selalu ramah terhadap suasana hati, tapi ia tetap bertahan dengan pendiriannya. Kenyataan tak selamanya sesuai dengan harapan, tapi ia dan pendiriannya tak pernah kalah. Ia sangat ok dalam berpendirian. Kerennya, pendiriannyalah yang saya perlukan. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar